Senin, 04 Mei 2015

Tugas 2 Softskil Akuntansi Internasional ( Branchiess Banking)

Diposting oleh Unknown di 22.41 0 komentar
BRANCHLESS BANKING: Menunggu Gerak Cepat OJK

Layanan perbankan tanpa kantor alias branchless banking merupakan mimpi lama yang telah ditiupkan sejak era Bank Indonesia dipimpin oleh Darmin Nasution. Ketika itu, fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan masih melekat sebagai tugas Bank Indonesia. Bank Indonesia telah menggandeng 5 bank dan 3 perusahaan telekomunikasi untuk mengadakan uji coba pelaksanaan program branchless banking di sejumlah daerah pada Mei hingga November 2013. Pada tahap ujicoba, agen-agen perbankan yang terdiri atas agen individu maupun badan usaha menjalankan fungsi perbankan secara sederhana; menerima simpanan uang, melayani transfer, dan menjadi jembatan pembayaran berbagai tagihan seperti biaya listrik, air, jual beli pulsa.
Ketika fungsi pengawasan dan pengaturan industri perbankan kemudian beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 31 Desember 2013, konsep branchless banking pun pada akhirnya terbawa ke otoritas baru tersebut. Namun demikian, Bank Indonesia masih mempertahankan wewenangnya sebagai otoritas di bidang sistem pembayaran. Program branchless banking versi Bank Indonesia pun, pada akhirnya, fokus hanya pada sistem pembayaran. Agen-agen perbankan yang direkrut oleh bank, menurut aturan Bank Indonesia, dapat melayani registrasi uang elektronik, melayani jasa pembayaran berbagai macam tagihan rutin, dan menyalurkan bantuan pemerintah yang diberikan melalui uang elektronik.
Agen-agen perbankan yang direkrut tidak dapat membantu bank membuka rekening tabungan, menerima simpanan, maupun menyalurkan kredit. Padahal, fungsi-fungsi tersebut sebelumnya telah diujicobakan dalam pilot project program branchless banking. Baru kemudian pada 18 November 2014, ketika OJK menelurkan Peraturan OJK No.19/POJK.03/2014 tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai), wajah lama branchless banking kembali muncul.
Aturan ini memuat persyaratan, tata cara, serta keterangan mengenai layanan yang dapat dilakukan oleh agen perbankan dalam melaksanakan program layanan keuangan tanpa kantor.
Beleid terbaru tersebut memberikan kewenangan kepada agen perbankan untuk berlaku sebagaimana laiknya perpanjangan tangan bank, yakni membuka tabungan, menerima simpanan nasabah, menyalurkan kredit, dan menjual produk jasa keuangan lainnya seperti asuransi mikro. Tentu saja, produk dan layanan tersebut merupakan versi yang paling sederhana dan terbatas. Ambil contoh misalnya, produk tabungan yang dilayani oleh agen merupakan produk tabungan sederhana (basic saving account) hanya diperuntukkan bagi nasabah yang belum memiliki tabungan dari bank manapun. Jumlah uang dalam rekening pun dibatasi maksimal Rp20 juta setiap orang. Transfer dan transaksi dibatasi paling banyak Rp5 juta juta setiap bulan secara kumulatif. Jika lebih dari batasan-batasan tersebut, nasabah tidak lagi dikategorikan sebagai nasabah mikro agen perbankan, melainkan telah naik kelas menjadi nasabah reguler bank.
Demikian pula, layanan kredit mikro yang dapat disalurkan oleh agen dibatasi hanya kepada debitur yang telah menjadi nasabah agen yang bersangkutan selama setidaknya 6 bulan. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal Rp20 juta pernasabah. Jika nasabah ingin mendapatkan kredit dalam jumlah lebih besar dari itu, maka dia harus beralih ke bank, bukan lagi lewat agen. Peran agen bank dalam branchless banking, sekali lagi, adalah sebagai perpanjangan tangan bank. Agen menggarap segmen nasabah yang selama ini belum tersentuh oleh layanan perbankan dengan berbagai alasan.
Sebagai perpanjangan tangan bank, peran agen menjadi penting. Baik Bank Indonesia maupun OJK menetapkan kriteria cukup ketat bagi agen yang hendak direkrut oleh bank. Kedua otoritas tersebut sepakat bahwa agen harus memiliki rekam jejak yang baik, tercatat telah menjadi nasabah bank yang bersangkutan selama beberapa waktu, serta diwajibkan menyerahkan deposit kepada bank sebagai jaminan. Sepakat soal persyaratan agen bank, kedua otoritas ini justru berbeda pandangan terkait kriteria bank yang boleh menjalankan layananbranchless banking. Meskipun ruang lingkup yang diatur oleh keduanya berbeda—BI mengatur sistem pembayaran sedangkan OJK mengatur layanan perbankan—namun ada persamaan mendasar dalam dua aturan yang dirilis oleh BI dan OJK, yakni program layanan perbankan tanpa kantor serta keterlibatan agen perbankan dalam menjalankan program tersebut.
BI masih bersikeras bahwa bank yang berhak menjalankan program layanan bank tanpa kantor terkait sistem pembayaran harus merupakan bank bermodal besar, setidaknya Rp30 triliun, serta harus melewati proses pengujian. Sementara itu, OJK bersikap lebih terbuka, dengan mengizinkan bank dari kelompok modal manapun, bahkan termasuk bank bermodal kurang dari Rp1 triliun, untuk terlibat dalam program ini. Keterbukaan ini di satu sisi memberikan angin segar bagi para pelaku industri perbankan, namun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran. Ekonom Universitas Atmajaya Agustinus Prasetyantoko meningatkan, OJK harus sangat berhati-hati dalam merumuskan aturan teknis layanan branchless banking, sebab tak semua bank mampu menjalankan program ini. “Harus jelas do dan don’t nya apa saja,” ujarnya.
Aturan ini memuat persyaratan, tata cara, serta keterangan mengenai layanan yang dapat dilakukan oleh agen perbankan dalam melaksanakan program layanan keuangan tanpa kantor.
POJK tersebut, misalnya, mengatur bahwa minimal sebanyak 70% dari kredit yang disalurkan oleh agen perbankan harus berupa kredit produktif. Belum dijelaskan apakah kredit produktif melalui agen perbankan tersebut dapat dikategorikan sebagai kredit produktif ke sektor mikro sebagaimana amanat Peraturan BI No14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Beleid tersebut mewajibkan bank menyalurkan kredit mikro sebesar 20% dari total kredit. Pemenuhan kewajiban ini berlaku secara bertahap, paling lambat pada akhir 2018. Selain itu, masih ada pula catatan terkait syarat bank yang dapat ikut serta dalam program branchless banking versi OJK. Aturan yang ada tidak membatasi tingkat permodalan bank, selama bank memiliki infrastruktur pendukung untuk menyediakan layanan transaksi elektronik bagi nasabah yang meliputi layanan sms banking ataumobile banking, serta internet banking atau host to host.
Aturan ini berbenturan dengan PBI No 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank, yang menyebutkan bank bermodal kurang dari Rp1 triliun alias masuk kategori BUKU 1, belum diperkenankan mengembangkan layananinternet banking. Dikonfirmasi mengenai hal ini, Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Gandjar Mustika menolak anggapan bahwa POJK Laku Pandai berbenturan dengan Peraturan Bank Indonesia. Menurutnya, aturan baru yang dirilis OJK sengaja dibuat lebih longgar untuk mengakomodasi perkembangan industri perbankan di masa mendatang. OJK, sebagai otoritas yang membawahkan tak hanya pengaturan dan pengawasan perbankan, juga harus menyelaraskan aturan branchless banking dengan aturan di bidang industri asuransi, multifinance, dan industri jasa keuangan lainnya. Jangan sampai ada tumpang tindih peraturan yang malah saling mengunci satu sama lain. Otoritas yang pada tahun ini berulang tahun ketiga itu harus bekerja keras untuk memastikan semuanya berjalan baik. Juga harus bekerja cepat, agar mimpi memperluas jangkauan layanan jasa keuangan ke masyarakat luas dapat segera terealisasi.

Nama          : Irma hidayati
Kelas                    : 4EB05

NPM           : 23211695
 

Irmahg blog's Copyright 2011 My Sweet Blog kage Designed by Templates By Blogger Styles | Blogger Image by Tadpole's Notez