BRANCHLESS BANKING: Menunggu Gerak Cepat
OJK
Layanan perbankan tanpa kantor
alias branchless banking merupakan mimpi lama yang
telah ditiupkan sejak era Bank Indonesia dipimpin oleh Darmin Nasution. Ketika
itu, fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan masih melekat sebagai tugas
Bank Indonesia. Bank
Indonesia telah menggandeng 5 bank dan 3 perusahaan telekomunikasi untuk
mengadakan uji coba pelaksanaan program branchless banking di sejumlah daerah pada Mei
hingga November 2013. Pada tahap ujicoba, agen-agen perbankan yang terdiri atas
agen individu maupun badan usaha menjalankan fungsi perbankan secara sederhana;
menerima simpanan uang, melayani transfer, dan menjadi jembatan pembayaran
berbagai tagihan seperti biaya listrik, air, jual beli pulsa.
Ketika fungsi pengawasan dan
pengaturan industri perbankan kemudian beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) pada 31 Desember 2013, konsep branchless banking pun
pada akhirnya terbawa ke otoritas baru tersebut. Namun demikian, Bank Indonesia
masih mempertahankan wewenangnya sebagai otoritas di bidang sistem pembayaran.
Program branchless banking versi Bank Indonesia pun,
pada akhirnya, fokus hanya pada sistem pembayaran. Agen-agen perbankan yang
direkrut oleh bank, menurut aturan Bank Indonesia, dapat melayani registrasi
uang elektronik, melayani jasa pembayaran berbagai macam tagihan rutin, dan menyalurkan
bantuan pemerintah yang diberikan melalui uang elektronik.
Agen-agen perbankan yang direkrut
tidak dapat membantu bank membuka rekening tabungan, menerima simpanan, maupun
menyalurkan kredit. Padahal, fungsi-fungsi tersebut sebelumnya telah diujicobakan
dalam pilot project program branchless banking. Baru kemudian pada 18 November
2014, ketika OJK menelurkan Peraturan OJK No.19/POJK.03/2014 tentang Layanan
Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai), wajah lama branchless
banking kembali muncul.
Aturan ini memuat persyaratan,
tata cara, serta keterangan mengenai layanan yang dapat dilakukan oleh agen
perbankan dalam melaksanakan program layanan keuangan tanpa kantor.
Beleid terbaru tersebut
memberikan kewenangan kepada agen perbankan untuk berlaku sebagaimana laiknya
perpanjangan tangan bank, yakni membuka tabungan, menerima simpanan nasabah,
menyalurkan kredit, dan menjual produk jasa keuangan lainnya seperti asuransi
mikro. Tentu saja, produk dan layanan tersebut merupakan versi yang paling
sederhana dan terbatas. Ambil
contoh misalnya, produk tabungan yang dilayani oleh agen merupakan produk
tabungan sederhana (basic saving account) hanya diperuntukkan
bagi nasabah yang belum memiliki tabungan dari bank manapun. Jumlah uang dalam
rekening pun dibatasi maksimal Rp20 juta setiap orang. Transfer dan transaksi
dibatasi paling banyak Rp5 juta juta setiap bulan secara kumulatif. Jika lebih
dari batasan-batasan tersebut, nasabah tidak lagi dikategorikan sebagai nasabah
mikro agen perbankan, melainkan telah naik kelas menjadi nasabah reguler bank.
Demikian pula, layanan kredit
mikro yang dapat disalurkan oleh agen dibatasi hanya kepada debitur yang telah
menjadi nasabah agen yang bersangkutan selama setidaknya 6 bulan. Jumlah
pinjaman dibatasi maksimal Rp20 juta pernasabah. Jika nasabah ingin mendapatkan
kredit dalam jumlah lebih besar dari itu, maka dia harus beralih ke bank, bukan
lagi lewat agen. Peran
agen bank dalam branchless banking, sekali lagi, adalah
sebagai perpanjangan tangan bank. Agen menggarap segmen nasabah yang selama ini
belum tersentuh oleh layanan perbankan dengan berbagai alasan.
Sebagai perpanjangan tangan bank,
peran agen menjadi penting. Baik Bank Indonesia maupun OJK menetapkan kriteria
cukup ketat bagi agen yang hendak direkrut oleh bank. Kedua otoritas tersebut
sepakat bahwa agen harus memiliki rekam jejak yang baik, tercatat telah menjadi
nasabah bank yang bersangkutan selama beberapa waktu, serta diwajibkan
menyerahkan deposit kepada bank sebagai jaminan. Sepakat soal persyaratan agen
bank, kedua otoritas ini justru berbeda pandangan terkait kriteria bank yang
boleh menjalankan layananbranchless banking. Meskipun ruang lingkup
yang diatur oleh keduanya berbeda—BI mengatur sistem pembayaran sedangkan OJK
mengatur layanan perbankan—namun ada persamaan mendasar dalam dua aturan yang
dirilis oleh BI dan OJK, yakni program layanan perbankan tanpa kantor serta
keterlibatan agen perbankan dalam menjalankan program tersebut.
BI masih bersikeras bahwa bank
yang berhak menjalankan program layanan bank tanpa kantor terkait sistem
pembayaran harus merupakan bank bermodal besar, setidaknya Rp30 triliun, serta
harus melewati proses pengujian. Sementara itu, OJK bersikap lebih terbuka,
dengan mengizinkan bank dari kelompok modal manapun, bahkan termasuk bank
bermodal kurang dari Rp1 triliun, untuk terlibat dalam program ini. Keterbukaan ini di satu sisi
memberikan angin segar bagi para pelaku industri perbankan, namun di sisi lain
menimbulkan kekhawatiran. Ekonom Universitas Atmajaya Agustinus Prasetyantoko
meningatkan, OJK harus sangat berhati-hati dalam merumuskan aturan teknis
layanan branchless banking, sebab tak semua bank mampu
menjalankan program ini. “Harus jelas do dan don’t nya
apa saja,” ujarnya.
Aturan ini memuat persyaratan,
tata cara, serta keterangan mengenai layanan yang dapat dilakukan oleh agen
perbankan dalam melaksanakan program layanan keuangan tanpa kantor.
POJK tersebut, misalnya, mengatur
bahwa minimal sebanyak 70% dari kredit yang disalurkan oleh agen perbankan
harus berupa kredit produktif. Belum dijelaskan apakah kredit produktif melalui
agen perbankan tersebut dapat dikategorikan sebagai kredit produktif ke sektor
mikro sebagaimana amanat Peraturan BI No14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit
atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan
Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Beleid tersebut mewajibkan bank menyalurkan
kredit mikro sebesar 20% dari total kredit. Pemenuhan kewajiban ini berlaku
secara bertahap, paling lambat pada akhir 2018. Selain itu, masih ada pula
catatan terkait syarat bank yang dapat ikut serta dalam program branchless
banking versi OJK. Aturan yang ada tidak membatasi tingkat permodalan
bank, selama bank memiliki infrastruktur pendukung untuk menyediakan layanan
transaksi elektronik bagi nasabah yang meliputi layanan sms banking ataumobile
banking, serta internet banking atau host to host.
Aturan ini berbenturan dengan PBI
No 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal
Inti Bank, yang menyebutkan bank bermodal kurang dari Rp1 triliun alias masuk
kategori BUKU 1, belum diperkenankan mengembangkan layananinternet banking. Dikonfirmasi mengenai hal ini,
Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Gandjar Mustika menolak
anggapan bahwa POJK Laku Pandai berbenturan dengan Peraturan Bank Indonesia.
Menurutnya, aturan baru yang dirilis OJK sengaja dibuat lebih longgar untuk
mengakomodasi perkembangan industri perbankan di masa mendatang. OJK, sebagai otoritas yang
membawahkan tak hanya pengaturan dan pengawasan perbankan, juga harus
menyelaraskan aturan branchless banking dengan aturan di
bidang industri asuransi, multifinance, dan industri jasa keuangan lainnya.
Jangan sampai ada tumpang tindih peraturan yang malah saling mengunci satu sama
lain. Otoritas
yang pada tahun ini berulang tahun ketiga itu harus bekerja keras untuk
memastikan semuanya berjalan baik. Juga harus bekerja cepat, agar mimpi
memperluas jangkauan layanan jasa keuangan ke masyarakat luas dapat segera
terealisasi.
Sumber : http://finansial.bisnis.com/
Nama :
Irma hidayati
Kelas :
4EB05
NPM :
23211695